Selasa, 06 Desember 2011

ES E: Pembangunan Daerah



BAB 1
PENDAHULUAN
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi sehingga tidak terjadi ketimpangan dan kesenjangan dalam pembangunan ekonomi.

Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.









BAB II
    PEMBAHASAN
Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.(LincolinArsyad,1999).

Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.

Pembangunan ekonomi daerah suatu proses yaitu proses yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pemngetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru.[1]
A.                 Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi
Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator utama di antara indikator lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika PDRB relatif sama antar povinsi, maka PDB nasional relatif merata ntar provinsi, sehingga ketimpangan pembangunan antar provinsi relatif kecil.
Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, Kalimantan Timur menjadi lebih kecil lagi.Aceh menyumbang 3% terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang 50%. Hal ini berarti 50% dari perekonomian Aceh tergantung pada perekonomian sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang 5% pada PDB Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya 2%. Namun, pada tahun 2000, kontirbusi output regional yang dihasilkan oleh Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas menurun menjadi 2,5% dan 1,6%, sedangkan Riau mengalami peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini memberikan kesan bahwa bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang kaya akan migas.[2]
B.                 PDRB Rata-rata per Kapita antar Provinsi
Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per kapita, maka distribusi PDB Nasional menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per kapita.
Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan sebaliknya di bawah 2 juta dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih kecil dari 3%. Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa PDRB dari 7 daerah pusat migas di Indonesia, yakni Aceh Utara, kepulauan Riau dan Bengkalis, Kutai, Bulungan dan Balikpapan, dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa semua daerah ini dengan jumlah penduduk yang hanya 9% dari total populasi Indonesia menyumbang 33% dari PDB Nasional.
C.                 Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi
Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk atntar provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah, maka akan semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di daerah tersebut. Dalam hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak berubah (S terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam RT juga konstan. Tinggi rendahnya pengeluara C RT tidak dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita di suatu daerah, tanpa kedua asumsi tersebut.
            Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita, ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi refleksi dari kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan distribusi pendapatan C menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat ketimpangan dikatakan tinggi jika 40% penduduk berpendapatan rendah (berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan kurang dari 12% dai seluruh pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati kurang dari 12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti telah terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati lebuh dari 17% dari seluruh pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa provinsi di pulau Jawa juga memiliki pengeluaran C makanan yang relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, seperti Bali, Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.[3]
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua pengeluaran atas pembelian barang dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan neto dari barang bekas atau apkiran. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk konsumsi sendiri, seperti hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan biaya hidup lainnya serta barang-barang dan jasa.
Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan, pendidikan, rekreasi, pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk dalam konsumsi rumah tangga. Pembelian rumah tidak termasuk pengeluaran konsumsi, tetapi pengeluaran atas rumah yang ditempati seperti sewa rumah, rekening air, listrik, telepon dan lain-lain merupakan konsumsi rumah tangga.
Penghitungan pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dilakukan dengan 2 pendekatan,yaitu:
1). Pengeluaran konsumsi rumah tangga di pasar suatu daerah adalah pembelian langsung di pasar tersebut baik oleh penduduk maupun rumah tangga bukan penduduk daerah tersebut.
2). Pengeluaran konsumsi rumah tangga meliputi pembelian langsung di pasar tersebut, ditambah dengan pembelian langsung penduduk daerah ini yang dilakukan di luar negeri atau daerah lain, dikurangi dengan pembelian langsung di pasar domestik oleh rumah tangga di luar penduduk daerah tersebut.
Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Makanan
Perkiraan konsumsi kelompok makanan menggunakan model fungsi eksponensial. Model ini dipilih berdasarkan pada asumsi bahwa tiap penambahan pendapatan akan menyebabkan pertambahan tingkat konsumsi, tetapi pada suatu ketika, saat keinginan konsmsi mencapai titik jenuhnya, maka konsumsi tersebut mulai menurun, dengan membentuk kurva seperti parabola.
Nilai konsumsi atas dasar harga berlaku diperoleh dengan mengalikan konsumsi dalam satuan kuantum dengan harga eceran pada tahun yang bersangkutan. Harga konsumen atau harga eceran merupakan harga yang dibayar oleh rumah tangga konsumen yang tujuannya untuk dikonsumsi. Harga tersebut merupakan rata-rata harga eceran di kota dan harga di pedesaan. Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan didapatkan dengan metoda revaluasi artinya konsumsi dalam satuan kuantum dikalikan dengan harga tahun dasar.
Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Bukan Makanan
Perkiraan konsumsi rumah tangga untuk kelompok bukan makanan menggunakan model regresi linier. Maksudnya setiap kenaikan pendapatan akan cenderung selalu diikuti oleh penambahan permintaan konsumsi kelompok bukan makanan misalnya permintaan akan pakaian, hiburan, dan lain sebagainya.
Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan pada tiap  tahun dimana data Susenas tersedia, diperoleh dengan cara mendeflasi nilai konsumsi (nilai data Susenas) dengan IHK yang sesuai dengan jenis pengeluaran barang dan jasa yang dikonsumsi. Pada tahun-tahun dimana data Susenas tidak tersedia maka nilai konsumsi rumah tangga atas dasar harga berlaku diperoleh dengan metode model regresi linier yang menghasilkan koefisien elastisitas permintaan yang dikalikan dengan pendapatan, kemudian mengalikan total nilainya dengan IHK.
D.                Indeks Pembangunan Manusia
Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu PDB (untuk konteks nasional) dan PDRB (untuk konteks regional),  ternyata hanya dapat melihat pembangunan ekonomi saja.[4] Oleh karena itu,  dibutuhkan suatu indikator yang lebih komprehensif, sehingga tidak hanya menangkap perkembangan perekonomian tetapi juga perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan manusia.
Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi dasar pembangunan manusia denganmelihat perkembangannya. Penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, yaitu:
·                     Membangun indikator guna mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih.
·                     Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana.
·                     Membentuk satu indeks komposit dibanding menggunakan sejumlah indeks dasar.
·                     Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi. Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan hidup, pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah, dan standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita (Purchasing Power Parity).
Di Indonesia penghitungan IPM pertama kali dilakukan atas kerjasama BPS dan UNDP Indonesia pada tahun 1996. IPM yang dihasilkan menunjukkan hasil bandingan antar Provinsi di Indonesia periode tahun 1990 dan 1993. Oleh karena  Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai sumber data penghitungan IPM baru dilaksanakan tahu 1990, maka indeks sebelum tahun tersebut tidak dapat dilakukan.
Penghitungan IPM di Indonesia juga sempat mengalami perubahan, terutama dalam penghitungan standar kehidupan di tingkat provinsi. UNDP menggunakan PDB riil per kapita yang disesuaikan sebagai proxy dari pendapatan untuk menghitung IPM global. Nilai maksimum yang digunakan adalah target yang ingin dicapai pada akhir pembangunan jangka panjang kedua, yaitu pada tahun 2018. Sementara itu, nilai ambang batas tingkat pendapatan ditetapkan dari suatu tingkat pendapatan tertentu yang telah disesuaikan untu kondisi Indonesia. Penghitungan IPM Kota Samarinda dilakukan dengan tetap menggunakan prinsip-prinsip dasar penghitungan IPM dalam HDR global.
E.        Kontribusi Sektoral terhadap PDRB
Bicara tentang kontribusi sektoral PDRB, kita perlu suatu daerah untuk dijadikan contoh. Sebut saja provinsi Bengkulu Utara. Data PDRB yang merupakan salah satu indikator ekonomi daerah menunjukkan ternyata selama jangka waktu analisis sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2007, kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Bengkulu Utara tidak mengalami banyak perubahan.
Sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya, hingga saat ini struktur ekonomi regional Kabupaten Bengkulu Utara yang didominasi oleh sektor pertanian. Dalam kurun waktu 5 tahun pengamatan, sektor pertanian telah menjadi sektor penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Bengkulu Utara dengan kontribusi sekitar 36%-37% dari total PDRB. Sedangkan, sektor dengan kontribusi paling kecil Bengkulu Utara adalah sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu hanya sebesar 0, 24%-0, 25%.
Dapat kita lihat dari kontribusi rata-rata per sektor, sumbangan sektor pertanian adalah sebesar 36% dari total PDRB. Kemudian di posisi kedua adalah sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 17%, dan pada posisi ketiga adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 14%.
F.Faktor-faktor Penyebab Ketimpangan
Jika dibandingkan tingkat PDRB per kapita dengan tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi di Indonesia dengan di Thailand, Malaysia, dan Filipina dengan menggunakan data dekade 1980-an maka terlihat perbedaan yang sangat kontras antara potensi kekayaan dan tingkat konsumsi aktual masyarakat di berbagai daerah di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Informasi yang diambil dari hasil study oleh Anne Booth (1992) ini menunjukkan betapa tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi terkaya di Indonesia tergolong yang terendah di antara daerah-daerah di negara-negara tetangganya yang notabene relatif miskin dilihat dari PDRB per kapitanya.
            Salah satu pilar yang harus ditegakkan dalam mengembangkan otonomi daerah yang lebih nyata adalah aspek pembiayaan. Tanpa keseimbangan pemberian otonomi antara tugas dan tanggung jawab dengan aspek pendanaannya, maka esensi dari otonomi menjadi kabur. Disilah salah satu masalah utama dari pemberdayaan derah dalam pemerataan pembangunan. Profil hubungan keuangan pusat-daerah hingga kini menunjukkan cengkeraman pemerintah pusat yang teramat kuat atas pemerintah daerah.[5]
            Dan berikut adalah beberapa penyebab terjadi ketimpangan dalam pembangunan ekonomi daerah.
1.        Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak dinikmati di Jawa.
2.      Alokasi Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa kurangnya (I) di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama sebelum pelaksanaan otonomi daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
3.       Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah.
Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
4.       SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).
Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting, maka sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA akan mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan percuma jika memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu,  proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah,  khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
5.      Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda. Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal.
Penduduk Kota Tegal pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa (50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan 0,55 % per tahun, sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun ) 170.124 jiwa (68,86 %).
Ternyata kepadatan penduduk rata – rata di Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja sebesar 168.575 jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038 jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915 tidak bekerja.
Mata pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457 orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310 orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687 orang, PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.[6]
Sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini diarahkan kepada penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan kemudahan akses pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara bertahap sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan formal antara lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea siswa, pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat I, penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007 tamatan pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa. 
6.      Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan       ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran         tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input             perantara, dan bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran      perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi     permintaan (Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari sisi permintaan,            kelangkaan akan barang dan jasa akan berdampak juga pada permnitaan pasar    terhadap kegiatan eonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang           tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal             seperti mesin, dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi   lumpuh, selanjutnya dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

G. Teori dan Model Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah.

Teori:
1.      Teori basis ekonomi
Penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah permintaan barang dan jasa dari luar daerah termasuk ekspor. Produksi dengan input lokal yang menghasilkan output dijual ke luar daerah menghasilkan Pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan peluang kerja daerah tersebut
2.      Teori lokasi
Teori ini untuk menentukan kawasan industry suatu daerah. Pengusaha rasional berupaya untuk memperoleh keuntungan dengan biaya minimal melalui pemilihan lokasi yang berbiaya minimal
3.      Teori daya tarik industry
Faktor penentu pembangunan industry di suatu daerah mencakup faktor daya tarik industry dan faktor daya saing daerah.
:Faktor daya tarik industry:
·      Produktivitas TK
·      Industri-industri terkait dalam pengembangan industry untuk meningkatkan NT daerah dan mengurangi ketergantungan impor
·      Daya saing masa depan
·      Spesialisasi industry
·      Potensi X
·      Prospek bagi permintaan domestik

Faktor daya saing daerah:
·      Pasar
·      Persaingan
·      Keuangan dan ekonomi (NT, kesempatan kerja, keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas produksi, skala ekonomi, dan infra struktur ekonomi)
·      Kompleksitas, diferensiasi, paten, hak cipta dan proses T manufaktur









     BAB III
KESIMPULAN
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut
Dalam susatu daerah sangatlah perlu dilakukan suatu pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dari masyarakat di suatu daerah. Banyak hal yang mempengaruhi pertumbuhan atau pembangunan di suatu daerah dan itu harus saling mepunyai hubungan timbal balik antara semuanya, sehingga ketakukan akan terjadi ketidak seimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan di kalangan penduduk tidak terjadi secara bersamaan.
Sebenarnya negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling kaya jika dilihat dari sumber daya alam yang ada, namun begitu yang terjadi sekarang ini itu akibat dari sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi sumber daya alam yang ada, sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang ada di Indonesia tidak bisa berjalan sesuai yang dinginkan oleh negara-negara yang ada di dunia. Sehingga menurut pemakalah disini haruslah perlu ditingkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi bisa ditingkatkan sesuai dengan yang dinginkan pada awalnya serta perbaikan kebijakan-kebijakan yang ada.



















DAFAR PUSTAKA

Chamid,Nur .2002.pengertian pembangunan ekonomi.bandung:erlangga
Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT  Raja  GrafIndustrido Persada.
Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Industridonesia Beberapa Masalah PentIndustrig. Jakarta: Ghalia Industridonesia.





[1] http://sobatbaru.blogspot.com/2010/05/pengertian-pembangunan-ekonomi-daerah.html
[2] http://candygloria.wordpress.com/2011/04/06/pembangunan-ekonomi-daerah/
[3] Drs.nur chamid,2002 pengertian pembangunan ekonomi hal 237
[4] Pengertian pembangunan ekonomi,hal 267
[5] Faisal bakri, Perekonomian Indonesia.2009.Jakarta : Erlangga
[6] http;//data eko.com

Komentar

HTML Comment Box is loading comments...