Senin, 19 Desember 2011

ES B: STABILITAS EKONOMI, KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER, HUTANG NEGARA


STABILITAS EKONOMI, KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER, HUTANG NEGARA
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Ekonomi Makro 2






Di susun oleh:
M. Mahrus Fathur Rosy                  C04210058


Dosen Pembimbing :
Miftahus Surur, SE,Msi


PRODI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas pembuatan makalah kami yang berjudul “Stabilitas ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, hutang negara”
Tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua kami yang telah mendukung secara moril dan materil sehingga pembuatan makalah ini dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah “Ekonomi Makro 2” yang telah membimbing kami dengan baik sehingga ilmu ini dapat bermanfaat bagi kami. Juga kepada pihak-pihak yang telah membantu proses pembuatan tugas makalah ini hingga dapat terselesaikan.
Mengingat masih dalam proses belajar, tim penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dalam makalah yang telah kami buat. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.



        Surabaya, September 2011


                                                                                    pemakalah





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Dampak Inflasi Terhadap Perekonomian
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang.
Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

A.     Inflasi dapat digolongkan menjadi 4 golongan,
1.      Inflasi ringan, Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun
  1. sedang, inflasi sedang antara 10%—30% setahun
  2. berat, berat antara 30%—100% setahun
  3. dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
B.     Sebab Inflasi Terjadi
Inflasi yang disebabkan adanya tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment.
Contohnya: :
- bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang baru
-   bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kemudahan kredit bank
Inflasi karena desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Contohnya:
a.       kenaikan biaya produksi, seperti kenaikan upah, kenaikan harga bahan modal
b.       berkurangnya jumlah penawaran
c.       naiknya harga barang yang dibarengi dengan turunnya jumlah produksi
d.      kenaikan biaya produksi, seperti kenaikan upah, kenaikan harga bahan modal
C.      bentuk Inflasi
a.       Inflasi campuran, terjadi karena kombinasi unsur inflasi tarikan dan inflasi dorongan biaya.
b.      Inflasi impor, terjadi karena pengaruh inflasi luar negeri dan adanya perdagangan antar negara.
Misalnya: suatu negara sedang mengalami inflasi, kemudian hasil produksi dari negara tersebut dibutuhkan oleh negara lain dan diimpor, maka harga barang tersebut meningkat.
D.    Berdasarkan timbulnya inflasi
  1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), inflasi ini timbul karena defisit anggaran belanja negara dan gagalnya pasar yang berakibat harga kebutuhan pokok menjadi mahal.
  2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), terjadi karena kenaikan harga barang di negara lain, biaya produksi barang luar negeri tinggi, kenaikan impor tarif barang
E.     Dampak Postitif Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
F.     Dampak Negatif Inflasi
Dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Tetapi secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong tingkat bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
G.    Pengaruh Inflasi terhadap Perekonomian
Inflasi dapat mengakibatkan perekonomian tidak berkembang. Sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi berdampak sebagai berikut :
1.      Mendorong penanaman modal spekulatif.
 Inflasi mengakibatkan para pemilik modal cenderung melakukan spekulatif. Hal ini dilakukan dengan carai membeli rumah, tanah dan emas. Cara ini dirasa oleh mereka lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif.
2.      Menyebabkan tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi.
Untuk menghindari kemerosotan nilai uang atau modal yang mereka pinjamkan, lembaga keuangan akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Apabila tingkat inflasi tingg, maka tingkat suku bunga juga akan tinggi. Tingginya suku bunga akan mengurangi kegairahan penanaman modal untuk mengembangkan usaha-usaha produktif.
3.         Menimbulkan ketidakpastian keadaan ekonomi di masa depan.
Apabila gagal mengendalikan inflasi, akan berdampak terhadap ketidakpastian ekonomi. Selanjutnya arah perkembangan ekonomi sulit untuk diramal. Keadaan semacam ini akan mengurangi kegairahan pengusaha untuk mengembangkan kegiatan ekonomi.
4.         Menimbulkan masalah neraca pembayaran.
Inflasi akan menyebabkan harga barabg-barang impor lebih murah daripada harga barang yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan impor berkembang lebih cepat daripada ekspor. Selain itu, arus modal ke luar ngeri akan lebih banyak disbanding yang masuk kedalam negeri. Keadaan ini akan menagibatkan terjadinya deficit neraca pembayaran dan kemerosotan nilai mata uang dalam negeri.
2.      Bentuk-bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian.  Kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengolah / mengarahkan perekonomian ke kondisi yangb lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah peneriamaan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan Fiskal mempunyai kebijakan yang sama dengan Kebijakan Moneter. Perbedaannya terletak pada isntrument kebijakannya. Jika dalam Kebijakan Moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang yang beredar, maka dalam Kebijakan Fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan ( T ) dan pengeluaran ( G ).
a)      Tujuan Kebijakan Fiskal
  1. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.
  2. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
  3. Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.
b)      Perangkat Kebijakan Fiskal
  1. Belanja/pengeluaran negara (G = Government Expenditure)
  2. Perpajakan (T = Taxes)
Menurut pandangan Keynes, kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah sangat penting untuk mengatasi pengangguran.
Prosesnya  misalnya ;
        i.            Pengurangan pajak penghasilan akan menambah daya beli masyarakat dan akan meningkatkan pengeluaran agregat.
      ii.            Peningkatan pengeluaran agregat dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa maupun untuk menambah investasi.
    iii.            Selanjutnya dalam masa inflasi atau ketika kegiatan ekonomi telah full employment, langkah sebaliknya harus dilakukan yaitu ; pajak dinaikkan dan pengeluaran pemerintah akan dikurangi.
    iv.            Langkah ini akan menurunkan pengeluaran/permintaan agregat dan mengurangi tekanan inflasi.
c)      Jenis-jenis Kebijakan Fiskal
  1. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy): menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat . Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi.
  2. Kebijakan fiskal kontraktif: menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi.
d)      Pengaruh Kebijakan Fiskal bagi Perekonomian
  1. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan-tujuan seperti inflasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang rendah.
  2. Berdasarkan teori ekonomi Keynesian, kenaikan belanja pemerintah sehingga APBN mengalami defisit dapat digunakan untuk merangsang daya beli masyarakat (AD = C + G + I + X - M) dan mengurangi pengangguran pada saat terjadi resesi/depresi ekonomi.
  3. Ketika terjadi inflasi, pemerintah harus mengurangi defisit (atau menerapkan anggaran surplus) untuk mengendalikan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
3.      Bentuk-bentuk Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk mengendalikan jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan perkreditan dalam rangka mengendalikan perekonomian. Kebijakan Moneter (istilah lainnya kebijakan uang ketat ) adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan ( lebih baik ) dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi. Kebijakan moneter Indonesia diputuskan dan dilakukan oleh Bank Sentral yaitu Bank Indonesia.
Ø  Jenis-jenis Kebijakan Moneter
1)      Kebijakan moneter ketat (tight money policy) untuk mengurangi/membatasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi.
2)      Kebijakan moneter longgar (easy money policy) untuk menambah jumlah uang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Ø  Perangkat/Sarana/Instrumen Kebijakan Moneter
1)      Cadangan wajib minimum (reserve requirement) atau Giro Wajib Minimum (GWM).
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.Penetapan ratio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jka rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibandingkan sebelumnya
2)      Kebijakan diskonto (discount policy) dengan menaikan atau menurunkan tingkat bunga diskonto.
Salah satu fasilitasnya yaitu adanya tingkat bunga diskonto yang maksudnya adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umun yang meminjam ke bank sentral. Jika pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah melakukan suatu cara yaitu menurunkan tingkat bunga penjaman ( tingkat diskonto ). Dengan tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar, sehingga jumlah uang yang beredar bertambah dan sebaliknya
3)      Operasi pasar terbuka (open market operation) dengan jual beli surat-surat berharga seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia), SBPU (Sertifikat Berharga Pasar Uang), dan lain-lain.
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
4)      Himbauan moral (moral suasion).
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya ; seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang yang beredar.
Ø  Kebijakan moneter dan keseimbangan ekonomi: analisis is-lm
Dalam perekonomian pasar, kenaikan tingkat bunga mengidentifikasikan telah terjadinya kelebihan permintaan investasi. Akibatnya dapat dilihat dari 2 sisi yaitu :
1)      Sisi Output
Kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada beberapa rencana investasi yang dibatalkan, sebagai akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi kecil.
2)      Sisi Biaya
Kenaikan tingkat bunga akan menaikkan biaya produksi dikarenakan naiknya biaya modal yang diperlukan.
untuk Indonesia, sudah terlalu banyak kesalahan dalam kebijakan moneter yang kita buat di masa yang lalu akibat kita tidak cukup memahami mengenai peran bank dan pasar kredit dalam perekonomian
Dalam buku terbarunya, Towards a New Paradigm in Monetary Economics, Stiglitz dan Greenwald (2003) coba menghapus dikotomi ini. Argumen utama mereka adalah efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi dari dunia perbankan, terutama dalam penyaluran kredit. Yang perlu diperhatikan hampir seluruh mekanisme transmisi kebijakan moneter harus melewati sektor perbankan. Agar dapat mencapai sasaran, otoritas moneter harus memahami komplit soal bagaimana sektor perbankan akan bereaksi terhadap perubahan dalam kebijakan moneter.
Dalam ilmu ekonomi moneter konvensional, peran bank hanya diperhitungkan dari sisi kewajibannya. Broad money (M2) didefinisikan sebagai penjumlahan uang kartal, giro, tabungan (saving deposit), dan deposito (time deposit). Definisi ini hanya mengukur uang dari sisi transactional demand dan spending power para penabung. Konsep ini jelas meniadakan peran bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, yaitu pengumpul dana masyarakat yang sekaligus merangkap sebagai penyalur kredit.
Ø  Persamaan Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro perekonomiannya. Keduanya sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiscal.
kebijakan moneter dan kebijakan fiscal yang dilakukan pemerintah pusat memberi implikasi yang luar biasa pada proses penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunannya. Dalam hal ini rakyat didaerah semakin mengalami kondisi tidak menentu terhadap krisis dan semakin parah karena kebijakan fiscal daerah dalam penarikan pajak menjadi sesuatu yang sangat memberatkan, dikarenakan rakyat hari ini tak mempunyai kemampuan untuk berproduksi. Kebijakan moneter dan kebijakan fiscal tidak memberikan stimulant rakyat untuk berproduksi. Tetapi hal itu hanya dirasakan oleh sekelompok orang yang dalam hal ini pengusaha yang mempunyai kemampuan ekonomi yang justeru hutangnya harus dibayar oleh rakyat.
kebijakan moneter dan kebijakan fiscal yang dilakukan pemerintah belum mengangkat Indonesia keluar dari krisis moneter. Tetapi justeru menimbulkan produksi dan konsumsi rakyat menjadi menurun akibat penarikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak menggunakan criteria sebagaimana yang diberikan dalam UU No. 34 tahun 2000. Kompetensi Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kebijakan moneter dan kebijakn fiscal pemetintah pusat kurang mampu diterjemahkan karena pemerintah daerah poor management. Pemerintah daerah menjadi manja dan terus berharap pada dana perimbangan, pinjaman, dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sebagai suatu saran pemerintah pusat harus konsisten melaksnakan undang-undang otonomi daerah dan tegas dalam pelaksanaan undang- undang penyelenggraan Negara yang bersih dan bebas KKN.
Ø  Dampak Fiskal pada Kebijakan Moneter
Salah satu cara pemerintah mendanai defisit anggaran adalah mencetak  uang—kebijakan yang mengarah pada inflasi lebih tinggi. Ketika negara  mengalami hiperinflasi, alasan tipikalnya adalah pembuat kebijakan  fiskal mengandalkan pajak inflasi untuk membayar sebagian  pengeluaran mereka. Akhir hiperinflasi hampir selalu bertepatan dengan reformasi fiskal yang mencakup pemotongan besar-bsaran pengeluaran pemerintah dan karenanya mengurangi kebutuhan akan seigniorage.
4.      The Traditional View Of Goverment debts
Pandangan tradisional dari pemotongan pajak & sesuai peningkatan utang govt
Jangka pendek: _______
Jangka panjang:
Y dan u kembali pada tingkat alamiah mereka________
Sangat jangka panjang:
____________ Sampai perekonomian mencapai kondisi mapan baru dengan pendapatan rendah per kapita
Dalam pandangan tradisional, pemotongan pajak yang didanai oleh utang mengurangi tabungan nasional dan menaikkan suku bunga nasional, yang menurunkan investasi.
  Bagaimana pemotongan pajak dan defisit anggaran mempengaruhi perekonomian dan kemakmuran ekonomi negara ?
Pemotongan pajak mendorong belanja konsumen dan mengurangi tabungan nasional. Penurunan tabungan menaikkan tingkat bunga, yang mengurangi investasi. Dari Bab 7, model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa investasi lebih rendah menimbulkan persediaan modal kondisi-mapan lebih rendah dan output lebih rendah. Dari Bab 8, kita tahu perekonomian lalu akan memiliki modal kurang dari kondisi-mapan Kaidah Emas, yang berarti konsumsi dan kemakmuran ekonomi lebih rendah. Menggunakan Bab 10-11, kita bisa menganalisis dampak jangka-pendek dari perubahan kebijakan lewat model IS-LM. Menggunakan Bab 5 dan 12, kita bisa lihat bagaimana perdagangan internasional mempengaruhi perubahan kebijakan ini. Ketika tabungan nasional turun, orang meminjam dari luar negeri, menyebabkan defisit perdagangan. Ini juga menyebabkan dolar  berapresiasi. Model Mundell-Fleming menunjukkan bahwa apresiasi dan lalu turunnya ekspor neto mengurangi dampak ekspansif jangka-pendek dari perubahan fiskal.
5.      The Ricardian View Of Goverment Debts
Karena David Ricardo (1820), baru-baru ini diajukan oleh Robert Barro
Menurutnya __________________, yang didanai oleh utang pajak ________itu dipotong pada konsumsi, tabungan nasional, tingkat bunga riil, investasi, ekspor bersih, atau PDB riil, bahkan dalam jangka pendek.
            Konsumen memandang ke depan, tahu bahwa hari ini utang pemotongan pajak yang didanai menunjukkan peningkatan pajak masa depan yang sama dalam nilai sekarang --- --- untuk pemotongan pajak.
            Dengan demikian, pemotongan pajak tidak membuat konsumen lebih baik, sehingga mereka tidak meningkatkan konsumsi. Mereka menyimpan _______________ pemotongan pajak penuh _________________________.
            Hasil: tabungan pribadi meningkat oleh jumlah tabungan masyarakat jatuh, meninggalkan tabungan nasional tidak berubah.
a.      Pandangan Ricardian atas Utang Pemerintah
            Konsumen melihat-ke depan beranggapan bahwa pajak lebih rendah sekarang berarti pajak lebih tinggi nantinya, membuat konsumsi tidak berubah. “Pemotongan pajak hanyalah penundaan pajak”
            Ketika pemerintah meminjam untuk membayar belanjanya saat ini    ( G lebih tinggi), konsumen rasional melihat ke depan pada pajak masa depan yang dibutuhkan untuk mendukung utang ini.
b.      Konsumen dan Pajak Masa Depan
            Esensi pandangan Ricardian adalah ketika orang memilih konsumsi mereka, mereka melihat ke depan secara rasional pada pajak masa depan yang diimplikasikan oleh utang pemerintah. Tapi, seberapa jauhkonsumen melihat-ke depan ?
            Pembela pandangan tradisional tentang utang pemerintah percaya bahwa prospek pajak masa depan tidak memiliki pengaruh pada konsumsi masa kini sebesar yang pandangan Ricardian asumsikan. 
c.       Konsumen Miopia (berpikir-pendek)
            Pendukung pandangan Ricardian berasumsi orang itu rasional ketika  membuat keputusan seperti berapa banyak pendapatan mereka untuk dikonsumsi dan berapa banyak untuk ditabung. Ketika pemerintah meminjam untuk membayar belanja saat ini, konsumen rasional melihat ke depan untuk mengantisipasi pajak masa depan yang dibutuhkan untuk mendukung utang ini. 
            Satu argumen dari pandangan tradisional adalah masyarakat miopia : mereka melihat penurunan pajak sebagai alasan untuk meningkatkan konsumsi mereka karena ‘kemakmuran’ baru ini. Mereka tidak melihat bahwa ketika kebijakan fiskal ekspansif didanai melalui obligasi, mereka akan harus membayar pajak lebih banyak di masa depan karena obligasi hanyalah penundaan-pajak.
d.      Batasan Peminjaman
            Pandangan Ricardian atas utang pemerintah mengasumsikan konsumen mendasarkan pengeluarannya tidak hanya pada pendapatan saat ini, tapi juga pada pendapatan seumur hidupnya, yang meliputi pendapatan sekarang dan pendapatan yang diharapkan di masa depan. Pendukung pandangan tradisional berpendapat  konsumsi saat ini lebih penting daripada pendapatan seumur hidup untuk konsumen yang menghadapi batasan peminjaman, yang merupakan batas berapa banyak seseorang bisa meminjam dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lain.
            Orang yang ingin mengkonsumsi lebih daripada pendapatannya saat ini harus meminjam. Jika mereka tak bisa meminjam untuk mendanai konsumsi mereka saat ini, pendapatan mereka saat ini menentukan apa yang mereka konsumsi, apapun pendapatan masa depan mereka. Pada kasus ini, pemotongan pajak dibiayai-utang menaikkan pendapatan saat ini dan lalu konsumsi, meskipun pendapatan masa depan lebih rendah. Intinya, ketika pemerintah memotong pajak saat ini  dan menaikkan pajak masa depan, ia memberi pinjaman pada pembayar pajak.
e.       Bukti terhadap Ekuivalensi Ricardian
            Awal 1980-an: besar pajak pemotongan defisit disebabkan Reagan meningkat. Tabungan nasional jatuh, tingkat bunga riil naik, nilai tukar dihargai, dan NX jatuh.
1992: Presiden George H.W. Bush mengurangi pemotongan pajak penghasilan untuk merangsang ekonomi.
            Ini pajak hanya tertunda tetapi didnâ € ™ t membuat konsumen lebih baik.
Namun, hampir setengah dari konsumen menggunakan sebagian dari ini membayar dibawa pulang ekstra untuk konsumsi.
Pendukung R.E. berpendapat bahwa pemotongan pajak Reagan tidak memberikan tes yang adil RE Konsumen mungkin telah diharapkan utang yang akan dibayar dengan pemotongan pengeluaran masa depan, bukan kenaikan pajak masa depan.
Tabungan swasta mungkin telah jatuh untuk alasan lain selain pemotongan pajak, seperti optimisme tentang ekonomi. Karena data yang tunduk pada penafsiran yang berbeda, kedua pandangan utang govt bertahan hidup.
            Pandangan Ricardian berpendapat bahwa yang didanai oleh utang pemotongan pajak tidak mempengaruhi tabungan nasional, dan karena itu tidak mempengaruhi suku bunga, investasi.
            Sebagian besar ekonom menentang aturan anggaran yang ketat seimbang, karena akan menghambat penggunaan kebijakan fiskal untuk menstabilkan output, pajak halus, atau mendistribusikan beban pajak lintas generasi.
6.      Analisa Dampak kebijakan Stabilisasi Ekonomi yang Dijalankan Pemerintah
A.      Stabilisasi
Defisit atau surplus anggaran bisa membantu menstabilisasi perekonomian. Aturan anggaran berimbang akan menarik kembali  kekuatan penstabil otomatis dari sistem pajak dan transfer. Ketika perekonomian mengalami resesi, penerimaan pajak menurun, dan transfer otomastis naik. Meskipun membantu menstabilkan perekonomian, respons otomatis mendorong anggaran menjadi defisit. Aturan anggaran-berimbang kaku akan membuat pemerintah menaikkan pajak atau mengurangi belanja selama resesi, tapi tindakan ini akan semakin menekan permintaan agregat.
        i.            Kebijakan Harga Pangan
Salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian usahatani, serta menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga pertanian dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida, dan kredit. Berdasarkan penyebabnya, kebijakan stabilisasi harga atau stabilisasi harga dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan harga pangan, yaitu kebijakan harga dasar (floor price) dan kebijakan harga tertinggi (ceiling price). Kebijakan ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar sehingga diperlukan kebijakan pendukung, yaitu melakukan stok atau ekspor saat kebijakan harga dasar ditetapkan dan melakukan operasi pasar saat kebijakan harga atap ditetapkan.
      ii.            Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi mencapai 57,47 persen dan menurun menjadi 31.17 persen pada periode tahun 1990-1998. Hal ini mengindikasikan pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada periode 1960 – 1970. Namun karena kuatnya hubungan harga beras terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian strategis dari stabilisasi ekonomi (PSE, 2003).
Penelitian  menunjukkan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran, peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi, konsumen beras tetap diuntungkan (ketahanan pangan meningkat), dan stabilitas ekonomi makro terjaga (pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan), serta partai politik dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik (ketahanan nasional) mengalami penguatan, sedangkan peningkatan subsidi pupuk berdampak positif meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik.
    iii.            Indikator dan Stabilitas Ekonomi Makro
Indikator ekonomi makro yang dimaksud disini  adalah inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan neraca perdagangan (proksi dari neraca pembayaran) yang merupakan indikator kunci. Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, serta pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal (balance of payment-BOP).
Jika terjadi kegagalan panen pada suatu negara dimana kontribusi pengeluaran pangan masyarakatnya lebih tinggi dari pengeluaran nonpangan, akan memberikan efek pada ekonomi makro. Gagal panen cenderung akan meningkatkan harga pangan. Dengan asumsi hanya terdapat dua sektor dalam ekonomi, pangan dan nonpangan, harga pangan akan meningkat. Ini berimplikasi pengeluaran untuk pangan meningkat dan akan berimbas ke sektor nonpangan berupa penurunan harga dan inflasi akan meningkat. Sebaliknya, jika ada kenaikan produksi pangan. Dengan demikian, fluktuasi panen akan menyebabkan instabilitas, baik bagi konsumen beras, petani padi, maupun produsen manufaktur. Dalam kasus gangguan suplai positif dan ada intervensi pemerintah, agar tidak terjadi penurnan harga ekses suplai tersebut perlu dikumpulkan. Pengumpulan pangan tersebut membutuhkan dana. Sebelum tahun 1999, digunakan dana Bank Indonesia (BI). Ada dua kebijakan berbeda yang mungkin dijalankan terhadap uang yang digunakan untuk menahan dan/atau mendistribusikan suplai pangan. Kemungkinan pertama, tidak ada “sterilisasi”. Pembelian excess supply menggunakan dana BI akan meningkatkan suplai uang dan level harga agregat.
Kemungkinan kedua, BI melakukan sterilisasi terhadap perubahan pada suplai uang yang digunakan untuk mengumpulkan dan/atau mendistribusikan suplai beras. Jika ini dilakukan berdasarkan satu untuk satu, hasilnya adalah sterilisasi sempurna. Dalam skenario ini, surplus panen tidak menyebabkan peningkatan suplai uang dan level harga agregat. Pada kondisi pemerintah melakukan intervensi tanpa sterilisasi dan ekonomi dalam keadaan tertutup, berarti BI menambah penawaran uang ke pasar dan akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang.
 Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk menjaga stabilitas harga pangan agar tingkat inflasi dapat dikendalikan. Selanjutnya tingkat inflasi mempengaruhi suku bunga di pasar uang. Kemudian suku bunga mempengaruhi investasi di pasar barang. Inflasi juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja di pasar tenga kerja dan seterusnya ada keterkaitan antara variable ekonomi makro, sehingga terjadi keseimbangan. Adanya keterkaitan antara variabel secara simultan yang saling mempengaruhi.
7.      Manejemen Hutang Negara
pembayaran utang luar negeri pemerintah ternyata memakan porsi yang besar dari APBN. Pada tahun 2000, sekitar 15,4% penerimaan dalam negeri pemerintah dipakai untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri, setelah dikurangi dengan nilai utang yang dijadwal ulang. Pada periode 2001-2003, rasio ini tidak mengalami penurunan yang signifikan, berkisar 13-15%. Sementara itu, sebagai porsi dari total penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), foreign debt service tetap berada pada level 20-26%., atau sekitar 1/5 hingga ¼ dari PPh dan PPN.
Perlu dicatat, sejak 2003 semakin banyak utang-utang yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1 (September 1998) dan Paris Club 2 (April 2000) yang habis masa jeda bayar utangnya (grace period). Pada tahun 2005, utang yang dijadwal ulang melalui Paris Club 3 juga mulai habis masa grace period nya. Konsekwensinya, beban pembayaran pokok utang pada tahun-tahun mendatang akan meningkat. Dengan demikian, tanpa perubahan manajemen utang LN secara radikal, sulit mengharapkan rasio di atas akan membaik secara signifikan.
TABEL 1 BEBAN PEMBAYARAN UTANG (DEBT SERVICE)
SEBAGAI RASIO TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2001-2003

                                                 2001   2002   2003

A. Bunga utang           LN      28.9    29.0     25.8
B. Pembayaran            Netto  10.2    16.7     16.7
C. Total A+B                          39.1     45.7    42.5
D. Penerimaan DN                  300.5   301.9  327.8
E. PPh + PPN                        
             176.0 174.6   206.8

Rasio C/D 13.0% 15.1% 13.0%
Rasio C/E 22.2% 26.2% 20.5%

Catatan: pembayaran netto adalah selisih antara utang jatuh tempo.Dengan nilai yang dijadwal ulang.
Karena besarnya utang dalam negeri, di masa mendatang kemampuan pemerintah membayar utang-utangnya cenderung menurun, atau pemerintah semakin tergantung kepada penjadwalan ulang melalui Paris Club. Tingkat utang luar negeri jangka panjang Indonesia ternyata sudah melampaui batas aman. Angka psikologis aman adalah 30-40% PDB. Sebelum krisis, tahun 1996 kondisi kita sudah buruk (57%), lalu naik menjadi 113%, dan turun menjadi sekitar 71% pada tahun 2002.
Sebagai perbandingan, utang jangka panjang negara-negara Amerika Latin pada saat puncak krisis "hanya"lah 43% PDB (1983-85). Padahal mereka tertolong oleh FDI yang positip 5,5%- 11,3% PDB. Sementara Indonesia justru mengalami defisit FDI, yang mungkin mencapai sekitar 1.5-2% PDB.
Indonesia perlu waktu puluhan tahun untuk melunasi utang luar negeri pemerintahnya. Saat ini tingkat utang sekitar US$­­ 67 milyar, atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang LN antara Rp 15-20 triliun per tahun. Artinya, diperlukan 30-40 tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas. Ini pun dengan asumsi yang "muskil", yaitu pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru.
Hutang luar negeri pemerintah memakan porsi yang besar dari cadangan devisa. Setiap tahun, tanpa penjadwalan ulang, utang LN pemerintah yang jatuh tempo mencapai sekitar US$­­ 4-5 milyar. Ditambah dengan beban utang swasta, total kewajiban LN jangka pendek Indonesia diperkirakan US$­­ 7-9 milyar per tahun. Ini setara dengan 1/3-1/4 cadangan devisa Indonesia. Akibatnya, terdapat potensi tekanan permintaan valas yang cukup kuat. Ini membuat rentan stabilitas makro Indonesia.
Jadi, tingkat utang LN pemerintah Indonesia memang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lalu apakah strategi penjadwalan ulang cukup memadai untuk mengatasinya? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$­­ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, selain penjadwalan ulang, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen utang LN pemerintah bisa lebih optimal.
f.        Manejemen Hutang Klasik
Manajemen Utang LN a la IMF dan Bank Dunia. Kepercayaan terhadap RE melahirkan manajemen utang klasik a la IMF dan Bank Dunia. Secara ringkas, manajemen klasik ini mengandung beberapa butir kunci, yaitu:
         I.            Percepatan pertumbuhan ekonomi, baik melalui penambahan utang baru, penjagaan stabilitas makro (tanpa memperhatikan efek sosialnya), dan perbaikan iklim investasi. Dengan pertumbuhan ekonomi, debt ratio (rasio utang terhadap PDB) diharapkan turun, dan utang menjadi lebih sustainable.
      II.            Peningkatan surplus primer. Ini ditempuh melalui peningkatan penerimaan pajak, pengurangan subsidi besar-besaran, dan perbaikan efisiensi dalam pengeluaran pembangunan. Dengan kata lain, terdapat net withdrawal dari masyarakat.
   III.            Maksimisasi pembiayaan di luar utang (non-debt financing). Ini meliputi sumber pembiayaan dari privatisasi dan penjualan aset-aset lainnya, termasuk aset BPPN dalam kasus Indonesia.
   IV.            Pengelolaan profil pembayaran utang, melalui terutama penjadawalan ulang dan reprofiling.
      V.            Pengelolaan resiko fiskal, terutama yang bersumber dari sisi pengeluaran seperti kewajiban non-bujeter dan Dana Alokasi Umum dan Khusus dalam rangka desentralisasi.
Dalam manajemen klasik, tolok ukur yang dipakai pun klasik, yaitu debt ratio. Intinya, jika debt ratio terlalu tinggi, maka utang lama dijadwal ulang. Tapi untuk menutup defisit fiskal, dibuat utang baru lewat forum CGI. Prakondisinya, stabilitas makro harus dijamin.

Gaya manajemen di atas diklaim Menteri Keuangan, IMF dan Bank Dunia berhasil menurunkan debt ratio menjadi 71%. Jadi, klaim mereka, utang pemerintah lebih sustainable, sehingga manajemen utang pemerintah sudah benar. Bahasa teorinya, sudah optimal dan memenuhi RE.
g.        Optimalisasi Manejemen Hutang
       I.            Indikator Tambahan
Manajemen klasik biasanya menggunakan rasio dari outstanding utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau debt ratio, sebagai indikator utamanya. Ini berlaku bagi utang jangka pendek, jangka panjang, domestik maupun luar negeri. Untuk peubah “kemampuan membayar utang”, dipakai debt service ratio yang membandingkan kewajiban pembayaran utang, baik pokok dan bunganya, dengan penerimaan ekspor.
Oleh sebab itu, sejak Desember 2001  mulai menggunakan sebuah indikator tambahan, yaitu rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang (debt services) terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini merupakan debt service ratio to fiscal revenues (DSRFR). Kalau rasio ini dibandingkan dengan proprosi pos penerimaan atau pengeluaran fiskal lainnya, maka diperoleh gambaran mengenai seberapa terakomodasinya aspek keadilan sosial dalam manajemen utang. Untuk kasus Indonesia, rasio ini juga semakin menunjukkan perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan re-fokus kepada pengurangan debt stock, bukan pengalihan utang ke generasi mendatang atau penambahan utang baru. Ini juga membawa konsekwensi tambahan, yaitu utang baru seyognyanya tidak digunakan untuk sisi konsumsi dalam APBN. Tapi justru lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur seperti listrik, jalan dan komunikasi.
    II.            Pengurangan Pokok Utang
a.       Penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan asing akan menanam modal senilai US$­­ 70 juta. Melalui renegosiasi komersial, utang pemerintah bisa diperdagangkan di pasar sekunder dengan diskon, katakanlah, 30%. Broker perusahaan tersebut akan membeli utang pemerintah senilai US$­­ 100 juta dengan harga US$­­ 70 juta (diskon 30%). Pemerintah setuju membayar Rupiah senilai, katakanlah, US$­­ 80 juta, kepada perusahaan. Bisa juga hanya senilai US$­­ 70 juta, tapi dikompensasi dengan kemudahan pajak. Hasilnya, utang senilai US$­­ 100 juta terbayar, FDI masuk senilai US$­­ 70-80 juta, sementara utang pemerintah terhapus 20-30%. Memang ada resiko inflatoir, terutama kalau dana pemerintah diperoleh dari pencetakan uang.
b.      Pengurangan debt stock melalui arbitrase internasional
Solusi ini memerlukan sinerji dan pembangunan jaringan yang kuat dengan NGOs di negara- negara maju. Ide dasarnya, pihak kreditor multilateral (Bank Dunia dll) dan bilateral ikut bertanggungjawab atas kegagalan mereka menjamin tercapainya good governance dalam manajemen utang para debitor. Sehingga, muncullah wacana mengenai odious debt, atau utang najis, di mana kreditor memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengkompensasi utang najis tersebut. Kalangan NGOs dalam dan luar negeri sangat antusias dengan alternatif ini. Walaupun belum ada preseden yang signifikan, tidak ada salahnya negara-nagara debitor seperti Indonesia mencoba alternatif ini.
c.       Pengendalian debt service sebagai rasio penerimaan negara
Dengan tingkat utang yang sangat tinggi, sementara di lain pihak terdapat pasar domestik yang sangat besar, tingkat upah yang kompetitif dan sumber daya alam yang besar, Indonesia sebenarnya memiliki potensi posisi tawar yang tinggi. Tingkat utang yang terlalu besar membuat credit exposure dan default risks kreditor utama Indonesia sangat tinggi. Ini sangat relevan bagi Jepang, yang merupakan kreditor terbesar Indonesia dengan tingkat piutang USD 45 milyar, dan kepentingan ekonomi regional yang besar.
Pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah, terutama hutang luar negeri, jelas akan membuat sumber daya dan dana yang tersedia bagi perekonomian domestik makin besar. Seandainya pembayaran utang luar negeri pemerintah dipatok maksimum 10% dari total penerimaan negara, maka pada tahun 2002 setidaknya terdapat Rp 42,94 triliun dana RAPBN 2002 yang belum dipakai.
Pengelolaan dana tersebut harus dilakukan dengan transparansi maksimum, dan diawasi oleh sebuah Forum Multi-Stakeholder yang melibatkan publik secara luas. Dana tersebut bisa tetap menjadi bagian dari APBN, atau dimasukkan ke dalam sebuah Trust Fund, yang tidak boleh digunakan untuk berinvestasi di pasar modal dan pasar uang.
Dana tersebut seyogyanya diprioritaskan untuk (antara lain):
a.       program padat karya di pedesaan,
b.      subsidi kredit program bagi pemulihan sektor riil yang berbasis pada UKM dan sektor- sektor prioritas, terutama infrastruktur, pertanian dan industri dengan multiplier tinggi dan/ atau yang meningkatkan kapasitas teknologi bangsa.
c.       Pembiayaan sektor sosial, terutama pendidikan dan kesehatan.
Penetapan batas maksimum di atas perlu didasarkan pada sebuah Undang-Undang, sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi dengan para kreditor. Butir-butir utamanya antara lain:
a.       Pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang LN pemerintah dalam setiap tahun anggaran, misalnya 10% dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan non-pajak. Hal yang sama bisa diberlakukan bagi utang domestik.
b.      Pengaturan mengenai pengelolaan dana yang semestinya dipakai untuk membayar hutang luar negeri, baik dalam APBN maupun trust fund. Transparansi maksimum dan Forum Multi- Stakeholder menjadi bagian tak terpisahkan dari pengelolaan dana ini.
c.       Pengaturan mengenai prioritas penggunaan dana tersebut
d.      Pengaturan mengenai pembatasan jumlah utang baru yang boleh diambil pemerintah, dikaitkan dengan cash flow pemerintah pada saat utang jatuh tempo.
e.       Pengaturan mengenai tingkat maksimum kenaikan pajak dan penurunan subsidi, sehingga total penerimaan negara benar-benar dihitung secara reasonable. Ini memperkecil peluang bagi IMF dan Bank Dunia untuk menekan pemerintah agar memperbesar jumlah pembayaran utang dengan jalan memperbesar target penerimaan negara.
 







BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang.
Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian.  Kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengolah / mengarahkan perekonomian ke kondisi yangb lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah peneriamaan dan pengeluaran pemerintah.
Pandangan Ricardian atas Utang Pemerintah, Konsumen melihat-ke depan beranggapan bahwa pajak lebih rendah sekarang berarti pajak lebih tinggi nantinya, membuat konsumsi tidak berubah. “Pemotongan pajak hanyalah penundaan pajak”  Ketika pemerintah meminjam untuk membayar belanjanya saat ini    ( G lebih tinggi), konsumen rasional melihat ke depan pada pajak masa depan yang dibutuhkan untuk mendukung utang ini.












DAFTAR PUSTAKA

N Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Makro edisi ketiga, Jakarta : Salemba Empat, 2006.
N Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Makro edisi keenam, Jakarta : Salemba Empat, 2006.
M Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro edisi keempat, Yogyakarta : BPFE, 2000.
Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Modern, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2006.
Prof Dr Soediyono Reksoprayitno, Pengantar Ekonomi Makro edisi keenam, Yogyakarta : BPFE, 2000.

Komentar

HTML Comment Box is loading comments...