Rabu, 30 November 2011

ES-E: Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan


BAB I
PENDAHULUAN
            Tolak ukur suatu negara dikatakan sebagai negara maju adalah salah satunya dilihat dari jumlah pendapatan negara, presentase kesejahteraan masyarakat, tingkat harapan hidup, dll. Kesejahteraan rakyat merupakan poin penting untuk mengetahui apakah suatu negara dikatakan maju atau tidak. Namun, ada beberapa hal yang menjadi masalah yaitu rendahnya pendapatan negara, dan masalah kemiskinan, serta kesenjangan jumlah pendapatan yang sangat berpengaruh terhadap keuangan negara dan juga kesejahteraan rakyat.
            Di Indonesia, masalah-masalah tersebut merupakan penghambat dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara warganegara yang kaya dengan yang miskin. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi segala kebutuhan pokok, kemiskinan di Indonesia merupakan hal yang kompleks karena menyangkut beberapa aspek seperti hak untuk terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dan berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional setiap 100 orang penduduk Indonesia terdapat 15 orang penduduk miskin.
            Kemiskinan tidak terlepas dari masalah kesenjangan pendapatan yang akhirnya berujung pada kesenjangan sosial yang berakibat pada konflik sosial. Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (yang dimaksudkan dengan kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan (presentase dari jumlah populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan) merupakan dua masalah besar di banyak LDCs, tidak terkecuali di Indonesia. Di katakan besar, karena jika dua masalah ini berlarut-larut atau di biarkan akan semakin parah dampak yang akan terjadi. Pada akhirnya akan menimbulkan kosekuensi politik dan sosial yang sangat serius.
            Oleh karena itu,agar masalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Indonesia menurun perlu adanya kerjasama dari masyarakat dan pihak pemerintah untuk mengangani masalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Pokok.
Masalah pokok Negara berkembangè Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan atau tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan
 





Kebijakan dan perencanaan pembangunan Orde Baru adalah pembangunan dipusatkan di Jawa (khususnya diJakarta) dengan harapan akan terjadi “Trickle Down Effect” dengan orientasi pada pertumbuhan yang tinggi.
2. Strategi Pembangunan.
Pada awal pemerintah orde baru percaya bahwa proses pembangunan ekonomi akan menghasilkan Trikle down effectè Hasil pembangunan akan menetes ke sector-sektor lain dan wialayah Indonesia lainnya.
Fokus pembangunan ekonomi pemerintahè Mencapai laju pertumbuhan ekonomi yg tinggi dalam waktu yang singkat melalui pembangunan pada:
a. Wilayah yang memiliki fasilitas yang relative lengkap (pelabuhan, telekomunikasi, kereta api, kompleks industri, dll) yakni di P. Jawa khsususnya Jawa Barat.
b.  Sektor-sektor tertentu yang memberikan nilai tambah yang tinggi.
3. Hasil strategi pembangunanè Kurang efektif.
a. 1980 – 1990è Laju pertumbuhan ekonomi (PDB) tinggi
b. Kesenjangan semakin besar (jumlah orang miskin semakin banyak)
4. Perubahan strategi pembangunan
Berdasarkan hasil pembangunan tsb, mulai PELITA 3 pemerintah merubah tujuannya menjadi mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Strategiè       a. Konsentrasi pembangunan diseluruh Indonesia
                        b. Pembangunan untuk seluruh sektorè pengembangan sektor
                            pertanian melalui berbegai program seperti transmigrasi, industri
                            padat karya, industri rumah tangga

B. Kemiskinan
Menurut wikipedia.org, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan : “Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.
Kemiskinan di pahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  • Gambaran kekurangan materi
Biasanya mencakup kebutuhan pengan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini di pahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  • Gambaran tentang kebutuhan sosial
Termasuk keterkucilan sosial, keterganungan, dan ketidakmampuan untuk berpatisipasi dalam masyarakat.hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya di bedakan dari kemiskinan karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral dan tidak di batasi pada bidang ekonomi.
  • Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai
Makna “memadai” disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu :

1. Kemiskinan relative.
Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.


2. Kemiskinan absolut.
Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuha dasar. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan minimum atau dibawah garis kemiskinan internasional.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan di bawah $2/hari dengan batasan ini maka di pekirakan pada tahun 2011, satu miliar orang didunia mengkomsumsi kurang dari dari $1/hari dan 2,7 miliar orang di dunia mengkomsumsi kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2011. Melihat pada periode 1981-2001, prosentase penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1/hari telah berkurang separuh. Tetapi, nilai dari $1/hari juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
a.Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak di hubungkan dengan:
  • Penyebab individual atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
  • Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
  • Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari di pelajari atau di jalankan dalam lingkungan sekitar.
  • Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan antara lain :

a. Tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah.
b. Cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif.
c. Apatis dan anti hal-hal baru.
d. Mentalitas dan etos kerja yang kurang baik.
e. Keadaan alam yang kurang mendukung.
f. Keterisoliran secara geografis dari pusat.
g. Tiadanya potensi atau produk andalan.
h. Rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.
C.                Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan.
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.  Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s  dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan. 
Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.
Tingkat Kesenjangan



Periode
Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja  dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
a.    Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
b.   Hubungan positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan ada di DC’s
c.    Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.

Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
§  proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
§  proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
D.                Hubungan Antara Perumbuhan Dan Kemiskinan
Pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan, jumlah orang-orang miskin berangsur-angsur berkurang. Banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
Dalam persamaan relasi antara pertumbuhan output agregat dan kemiskinan, elastisitas dari ketidak merataan dalam distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto(ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskianan. Dalam kata lain,kemiskinan tidaka hanya berkorelasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga denagn pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu.
Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.
Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
a)      Pertumbuhan
b)      Tingkat pendidikan
c)      Struktur ekonomi

Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam:
Log Gkt = α + βLog Wkt + αt + ∑kt
Dimana:
·         Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
·         Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t
·         αt         : Efek lokasi yang tetap
·         kt : Term kesalahan

Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.
·         g : efek bruto (ketimpangan konstan)
·         l :  efek neto (efek dari perubahan ketimpangan)
·         b : elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan
·         d : elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan
 


maka,
Λ = γ + βδ
Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan:
Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt
Dimana:
·         Pkt : Kemiskinan diwilayah k pada periode t
·         Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
·         Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan)
diwilayah k pada periode t
·         Wk : efek-efek yang tetap
·         vkt :term kesalahan
Studi empiris di LDC’s menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu.
a)      Ravallion dan Datt (1996) dengan data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output disektor-sektor primer khususnya pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan sector sekunder.
b)      Kakwani (2001) untuk data dari philipiana menunjukkan hasil yang sama dengan Ravallion dan Datt. Peningkatan output sektor pertanian 1% mengurangi jumlah kemiskinan 1% lebih sedikit. Peningkatan output sektor industri 1% mengurangi jumlah kemiskinan 0,25 saja.
c)      Mellor (2000) menjelaskan ada tendensi partumbuhan ekonomi (terutama pertanian) mengurangi kemiskinan baik secara mangsung maupun tidak langsung.
d)     Hasan dan Quibria (2002) menyatakan ada hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan
e)      ADB (1997) untuk NIC’s Asia Tenggara (Taiwan, Korsel, dan Singapura) menunjukkan pertumbuhan output di sector industri manufaktur berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan
f)       Dolar dan Kraay (2000) menunjukkan elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 1%  (pertumbuhan rata-rata 1% meningkatkan pendapatan masyarakat miskin 1%).
g)      Timmer (1997) menyimpulkan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 8% artinya kurang dari proporsional keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi

Untuk mengukur pengaruh pertumbuhan sektoral terhadap tingkat kemiskinan digunakan:
Ln P= a + b1 Ln Y1 + b2 Ln Y2 + b3 Ln Y3 + u + R
Dimana:
P : Fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi dibawah pengeluaran minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (garis kemiskinan)
Y : Tingkat output per kapita untuk sector pertanian, inustri pengolahan, dan jasa
u dan R:term kesalahan
·         Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan:
1.   Pendekatan Asiomatic mencakup:

a)   The Generalied Entropy (GE)

GE( ) = (1/(α2-α)
n=jumlah individu/orang dalam sampel
yi=pendapatan individu (i=1,2,…n)
 = (1/n) adalah ukuran rata-rata pendapatan
Nilai GE terletak 0 sampai ∞. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata dan GE bernilai 4 berarti kesenjangan yang sangat besar.
α = mengukur besarnya perbedaan antara pendapatan dari kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut dan mempunyai nilai riil


b)  Ukuran Atkinson

A = 1 -

ϵ=parameter ketimpangan, 0<ϵ<1, semakin tinggi nilai ϵ, semakin tidak seimbang pembagian pendapatan.
Nilai α dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan
c)   Koefisien Gini
Gini = (1/2n2-
Nilai koefisien Gini dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kemerataan sempurna dan nilai 1 berarti ketidakmerataan sempurna (satu orang/kelompok orang disuatu Negara menikmati semua pendapatan Negara).
Ide dasar perhitngan koefisien Gini adalah Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi komulatif pendapatan nasional diberbagai lapisan penduduk.  Sumbu vertical è presentase komulatif pendapatan nasional & Sumbu horizontal è  persentase komulatif penduduk.
                     a.  Semakin dekat dg diagonal,        100     
               semakin merata pendapatan         
                                                                    
b. Semakin jauh dg diagonal            50
                   semakin tidak merata pendapatan
                                               
                                                            0
                                                                       
                                                                     10                    50                 100
Indeks/Rasio Gini merupakan koefisien yang berkisar 0 sampai 1, yang menjelaskan kadar ketimpangan distribusi pendapatan nasional.
v  Semakin kecil angka ini, semakin merata distribusi pendapatan
v  Semakin besar angka ini, semakin tidak merata distribusi pendapatan
Angka Gini ini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz. Semakin kecil angka ini ditunjukkan kurva lorenz yang mendekati diagonal yang berarti kecil luas area dan sebaliknya.
             n
G = 1 - ∑  ( X t+1 – Xi ) ( Yi + Y t+1)
             1
             n
G = 1 - ∑ fi (Yi + Y t+1)
             1
G = Rasio Gini
fi  = Proporsi Jumlah Rumah Tangga dalam kelas t
Xi = Proporsi Jumlah Komulatif Rumah Tangga dalam kelas t
Yi = Proporsi Jumlah Komulatif Pendapatan dalam kelas t
2.   Kriteria Bank Dunia.
      Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:
v  40 % penduduk berpendapatan terendahè Penduduk termiskin
v  40 % penduduk berpendapatan menengah
v  20 % penduduk berpendapatan tinggi

KLASIFIKASI
DISTRIBUSI PENDAPATAN
Ketimpangan Parah
40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati < 12 % pendapatan nasional
Ketimpangan Sedang
40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati 12 - 17 % pendapatan nasional
Ketimpangan Lunak (Distribusi Merata)
40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati > 17 % pendapatan nasional
Pertengahan tahun 1997 Pendapatan per kapita Indonesia $ US 1,000 dengan 10 % penduduk saja yang menikmati  90% pendapatan nasional dan 90 % penduduk yang menikmati  10% pendapatan nasional berarti pemerataan pendapatan pendapatan masih kurang.
Perbandingan Indonesia dengan Swiss
Text Box: Komulatif % 
Pendapatan Nasional 






            Indonesia                                                        Swiss
Rasio Angka Gini.
Tahun
Kota
Desa
Nasional
1965
0,34
0,35
0,35
1970
0,33
0,34
0,35
1976
0,35
0,31
0,34
1978
0,38
0,34
0,40
1980
0,36
0,31
0,34
1981
0,33
0,29
0,33
1984
0,32
0,28
0,33
1986
0,32
0,27
0,33
1987
0,32
0,26
0,32
1990
0,34
0,25
0,32
1993
0,33
0,26
0,34
1994
0,34
0,26
0,34
1995
0,35
0,27
0,35
1996
0,35
0,27
0,36
1997
0,35
0,26
0,37

v  Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahun PDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
v  1971 – 1980 laju rata-rata pertahun PDB 6 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,4
v  Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahunPDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
v  1981 – 1990 laju rata-rata pertahun PDB 5,4 % dengan angka Gini rat-rata per per tahun 0,3

Foster (1984) memperkenalkan 3 indikator untuk mengukur kemiskinan:
a)      The incidence of poverty (rasio H) yaitu % dari populasi yang hidup adlam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan
b)      The depth of poverty yaitu menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan Poverty Gap Index / indeks jarak kemiskinan (IJK) yaitu mengestimasi jarak pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai proporsi dari garis tersebut.

Pa = (1/n) a untuk semua yi<z
Indeks Pa sensitive terhadap distribusi, jika a>1.
= perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I keluarga miskin (yi) dalam bentuk % dari garis kemiskinan.
a=% eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor dan jika dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi, maka akan menghasilkan indeks Pa.

c)      The severity of poverty/Distributionally Sensitive Index yaitu mengukur tingkat keparahan kemiskinan dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK) atau mengetahui intensitas kemiskinan.
Peneliti lain memasukkan 2 faktor lain yakni rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Semakin rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, semakin besar gap pendapatan antar orang miskin sehingga kemiskinan bertambah besar. Dengan memasukkan 2 faktor tersebut, maka muncul Indeks Kemiskinan Sen:
S = H [I + (1-I)Gini]
 I adalah jumlah rata-rata difisit pendapatan dari orang miskin sebagai % dari garis kemiskinan.
Koefisien Gini mengukur ketimpangan antar orang miskin.
Jika salah satu factor ini naik, maka kemiskinan meningkat.
Perubahan pola distribusi pendapatan dipedesaan disebabkan oleh:
a)   Urbanisasi jaman ordebaru sangat pesat
b)   Struktur pasar dan besar distorsi yang berbeda antara kota dan desa. Desa memiliki jumlah sektor, output per sektor, dan pendapatan perkapita lebih kecil daripada kota.
c)   Dampak positif pembangunan nasional yang berbentuk: (a) berbagai kegiatan ekonomi di desa (perdagangan, industry dan jasa); (b) Produksitivitas dan pendapatan TK pertanian dan penggunaan teknologi pertanian meningkat; dan (c) pemanfaatan SDA yang lebih baik di desa.

Perubahan tingkat upah (W) di desa dan kota dalam rupiah per bulan.
Tahun
Kota
Desa
Rasio D/K
1986
Rp 88.073
Rp 59.237
67
1990
115.835
66.395
57
1997
288,498
186.753
65

Bukti empiris hipotesis U terbalik di Indonesia tahun 1960an sampai 1990an
 









Distribusi dari 1,2 milyar penduduk miskin di dunia yang hidup dengan pendapatan kurang dari US1 per hari tahun 1998.

Europe and central Asia
2%
Middle East and North Africa
0.50%
South Asia
43.50%
Latin America and The Caribbean
6.50%
East Asia and Pasific
23.20%
Africa -SubSaharan
24.30%

Sumber: World Bank
Perubahan tingkat kemiskinan dan GDP per kapita di Asia.

Negara
Kemiskinan
Perubahan Tahunan
Tahun
%
Tahun
%
Kemiskinan per kapita
PDB Riil
Bangladesh
1992
58,8
1996
53,1
-2,5
3,1
Cina
1994
8,4
1996
6
-15,5
10,5
India
1992
40,9
1994
35
-7,5
3,3
Indonesia
1990
15,1
1996
15,7
0,6
6,2
Korsel
1994
16,4
1995
12,3
-25
7,3
Malaysia
1995
9,6
1997
6,8
-15,8
4,2
Pakistan
1993
22,4
1997
31
8,5
1,5
Philipina
1994
40,6
1997
36,8
-3,2
2,6
Taiwan
1996
0,5
1997
0,5
0
5,3
Thailand
1994
16,3
1996
11,4
-16,4
7,7
Vietnam
1996
19,2
1997
17,7
-8
7,4

E.                 Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Demikian pula pengertian pendapatan yang artinya pembayaran yang di dapat karena bekerja atau menjual jasa tidak sama dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar dari pada pendapatannya.
Boleh dikatakan bahwa baru sejak akhir 1970-an pemerintah Indonesia ulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak saat itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin di tekankan dan ini diidentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan, sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini mencerminkan upaya tersebut seperti:
a)      Program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil
b)      Rumah tangga dan koperasi
c)      IDT
d)     Program keluarga sejahtera
e)      Program keluarga berencana (kb)
f)       Program makanan tambahan bagi anak sekolah dasar
g)      Program transmigrasi
h)      Peningkatan UMR atau provinsi (UMP)
i)        Jaringan pengamana sosial yang di sponsori bank dunia
Secara teoritis perubahan pola distribusi pendapatan di perdesaan di sebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1.      Akibat arus penduduk/L dari perdesaan ke perkotaaan yang selama Orde Baru berlansung sangat pesat.
2.      Struktur pasar dan besarnya distoris yang berbeda di perdesaan dengan perkotaan.
3.      Dampak positif dari proses pembanguan ekonomi nasional diantaranya:
a.       Semakin banyaknya kegiatan-kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian seperti industri manufaktur.
b.      Tingkat produktivitas dan pendapatan (dalam nilai riil) L di sektor pertanian meningkat.
c.       Potensi SDA ( sumber daya alam) yang ada di perdesaan semakin baik karena di manfaatkan oleh penduduk desa (pemakain semakin optimal) 
Tingkat kesenjangan distribusi pendapatan diIndonesia dapat juga di ukur dengan metode Bank Dunia, yakni membagi jumlah populasi ke dalam tiga kelompok yakni:
  • 40%  berpedapatan rendah
  • 40%  berpendapatan menengah
  • 20 %  berpendapatan tinggi
Kelompok pertama adalah bagian dari populasi terkaya sedangkan kelompok ke tiga adalah bagian dari populasi termiskin dan kelompok kedua sering di sebut/ dikatakan sebagai masyarakat kelas menengah.
Di Indonesia kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama melihat kenyataan bahwa laju penguranag jumlah orang miskin di tanah air bedasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan laju perekonomian pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak PELITA I hingga 1997( sebelum krisi ekonomi).

F.                 Kebijakan untuk Menanggulangi Kemiskinan
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan dan penurunan kemiskinan disajikan dan gambar berikut ini.
 







Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dsb.
World bank (1990) peprangan melawan kemiskinan melalui:
a)   Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya
b)   Pengembangan SDM
c)   Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik social atau wilayah yang terisolasi

World bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a)   Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat local.
b)   Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif
c)   Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.

ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
a)   Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan
b)   Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social, perbaikan status perempuan, dan perlindungan social
c)   Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan
d)  Factor tambahan:
·      Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar
·      Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah

Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
a)   Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
b)   Jangka menenga\h dan panjang mencakup:
·      Pembangunan dan penguatan sector swasta
·      Kerjasama regional
·      Manajemen APBN dan administrasi
·      Desentralisasi
·      Pendidikan dan kesehatan
·      Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
·      Pembagian tanah pertanian yang merata







BAB III
KESIMPULAN

            Dari uraian tentang kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1.              Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh banyak negara dalam lingkup perekonomian, namun juga dapat mengakibatkan masalah dalam lingkup politik maupun sosial.
2.              Di Indonesia terjadi ketimpangan yang sangat mencolok antara orang kaya dan miskin, oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan agar pembangunan di Indonesia bisa merata.
3.              Kemiskinan dapat ditanggulangi jika para aparatur negara dan juga masyarakat mampu berkerjasama dalam menanggulangi kemiskinan agar tercipta sebuah negara yang adil, makmur, dan sejahtera.

















DAFTAR PUSTAKA

Norman, Gemmel. Ilmu Ekonomi Pembangunan. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1994.
http://cynthiaprimadita.blogspot.com/2011/03/bab-i-pembahasan.html
id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
http://nissakfh.wordpress.com/2011/03/17/kemiskinan-dan-kesenjangan-pendapatan-23210895/






Komentar

HTML Comment Box is loading comments...